Jumat, 13 Desember 2013

APRESIASI WAYANG


LAHIRNYA GATOTKACA

Pada tanggal 6 Juni 2013, telah dilaksanakan pagelaran wayang di Dusun Nangka Sawit, Gunung Pati, Semarang. Pagelaran wayang ini dimainkan oleh dhalang kecil yang bernama Sindu, dengan isi cerita sebagai berikut.
Setelah sekian lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima. Seluruh rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi generasi penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.
Saat itu seluruh putra Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh punakawan Semar, Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana Pringgandani, mereka sedang berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima. Tidak lama berselang terdengar tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero Pringgandani, seluruhnya yang berada di bangsal menarik nafas panjang. Sesaat kemudian ada emban yang menghaturkan berita bahwasanya sang putra mahkota laki-laki telah lahir dalam keadaan sehat begitu juga dengan kondisi sang ibu. Mendengar hal tersebut bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu dari mereka memberikan selamat kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran putrannya.
Beberapa waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil, diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun yang berhasil memotongnya.
Mendengar hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut / cicitnya tersebut.
Nan jauh di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba. Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya, singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.
Batara Guru merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang bisa mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir. Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima perang mengahadapi Naga Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna sedang bertapa di tepi Sungai Gangga mencari senjata sakti untuk dirinya, pada saat Batara Narada mendekati tempat tersebut hatinya senang karena Aradeya ini disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip dan Batara Surya yang merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan disekitar Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak sadar bahwa orang yang diserahi senjata tersebut bukanlah Arjuna.
Setelah mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara Narada tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh para Punakawan datang ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita bahwa dirinya telah salah orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya diserahkan kepada Jabang Tutuka lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa mirip dengan Arjuna. Mendengar hal tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada karena gegabah menyerahkan senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna mengejar orang tersebut.
Arjuna berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta baik-baik dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari keponakannya. Aradeya tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding memperebutkan senjata tersebut, sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya memegang gagang panah Konta Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab dikarenakan senjata Konta lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari kembali dan kali ini Arjuna kehilangan jejak.
Dengan sedih hati Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian atas saran Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narad disuruh pulang ke Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke Kahyangan. Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan untuk memotong tali ari-ari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus sedangkan warangka senajata kadewatan itu masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal ini menurut Semar sudah menjadi suratan bahwa nanti diakhir cerita peperangan besar / Bharata Yuda senjata itu akan masuk kembali kewarangkanya, dengan kata lain Jabang Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta Wijayadanu.
Setelah tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona. Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima. Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang melawan Naga Percona.
Arjuna disertai par Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna meletakkan Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna memperhatikan dari jauh bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga Percona datang dan melihat ada bayi ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya bertarung dengan bayi yang hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka dan mendekatkan wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka mengayun dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona marah dan membanting Jabang Tutuk kea rah pintu gerba hingga mati. Melihat hal tersebut para dewa tak terkecuali Batar Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget dan was-was jika Bima sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan mengamu ke Kahyangan. Hanya saja Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru untuk segera menggodok Jabang Tutuka di Kawah Candradimuka, Batara Guru segera memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera membawa tubuh Jabang Tutuka ke Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya para dewa disuruhnya melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk membentuk tuduh Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah dari dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum waktunya berhasil dihidupkan kembali oleh Batar Guru.
Selain mendapat anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk tubuhnya Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya : Krincing Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan Gatotkaca. Nama terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan. Dengan tampilan yang sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan nama baru Gatotkaca bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil merobek mulut dan tubuh Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari hidupnya Naga Percona yang membawa kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.

BAMBANG SEKUTREM

Cerita wayang bambang sekutrem ini dimainkan oleh dhalang Drs. Widodo, M.Pd, dengan ringkasan cerita sebagaai berikut.

Mengisahkan pengurangan senjata pemusnah masal  Kisah tentang  Bambang Sekutrem yang mendapatkan senjata pusaka dari Kahyangan, dan juga akan di sampaikan pula pesenjataaan para Pandawa dan Kurawa, serta pengurangan senjata pemusnah masal oleh Prabu Kresna, dilakukan baik di pihak Kurawa maupun di pihak Pandawa sendiri.

Bambang Sekutrem, adalah putera Begawan Manumayasa, diminta sraya oleh dewa untuk mengusir pasukan Prabu Kalimantara dari Negeri Cempaka Kawedar beserta para perajuritnya. yang telah merusak kahyangan Jonggringsaloka.

Batara Narada turun ke marcapada  menemui Begawan Manumayasa. Batara Narada meminta Begawan Manumayasa untuk mengijinkannya mengajak Bambang Sekutrem ke Kahyangan, menjadi jago dewa  untuk mengusir musuh yang telah memasuki Kahyangan Jonggringsaloka.

Begawan Manumayasa memberikan restu kepada puteranya, Bambang Sekutrem, untuk membantu para dewa mengusir musuh dari Negeri Cempaka Kawedar,yang sekarang ini menguasai Kahyangan Jonggringsaloka.Prabu Kalimantara, beserta pasukannya, yang diperkuat oleh Aria Tunggulnaga, telah berhasil memasuki Gerbang Selamatangkep. Yaitu, dengan membobol Gerbang Selamatangkep. Para Dewa merasa kewalahan menghadapi musuh musuhnya. Akhirnya Bambang Sekutrem bersama Batara Narada pun telah sampai di Kahyangan. Untuk memberikan kekuatan Bambang Sekutrem, baik kekuatan jiwa dan raga yang akan melawan Prabu Kalimantara, maka Batara Brahma memberikan pusaka Pulanggeni kepada Bambang Sekutrem.

Prabu Kalimantara tertawa terbahak bahak, ketika mengetahui para dewata tidak berani lagi melawan mereka, justru para dewa membawa orang biasa yang dijagokan untuk melawan mereka. Dengan sungkan hati Prabu Kalimantara melayani perlawanan Bambang Sekutrem. Namun dengan kegesitan dan kekuatan Bambang Sekutrem dalam melawan Prabu Kalimantara beserta pasukannya, Prabu Kalimantara beserta pasukannya dapat dibinasakan oleh Bambang Sekutrem.

Namun kemudian terjadi keajaiban, prabu Kalimantara beserta pasukannya berubah menjadi pusaka pusaka sakti. Prabu Kalimantara menjadi Pusaka Jamus Kalimasada, mereka ada yang menjadi songsong Tunggulnaga, tombak Karawelang, serta pusaka pusaka, Sarotama, Ardadedali, serta pusaka pusaka yang lain.Pusaka Pasopati didapat Arjuna sewaktu bertapa di Indrakila.  Para Dewa memberikan semua pusaka pada Bambang Sekutrem. Disamping senjata pusaka, Bambang Sekutrem mendepat anugerah berupa pusaka  itu. seorang bidadari bernama Dewi Nilawati. Bambang Sekutrem menikah dengan Dewi Nilawati, mendapatkan   dua orang putera, yaitu Bambang Sakri dan Bambang Sayati. Bambang Sayati atau Bambang Sayadi ini  nantinya akan menurunkan raja raja di Mandaraka. Bambang Sakri kawin dengan Dewi Sati mempunyai seorang putera bernama Bambang Pulasara.

Pusaka-pusaka itu kemudian di kuasai secara turun temurun, dari Sekutrem diturunkan kepada Sakri, kemudian Sakri, Palasara, Abiyasa, Pandu, yang kemudian  terakhir Pandawa, Sedangkan Pandawa,yang menguasai pusaka pusaka tersebut, Prabu Puntadewa,yang menguasai tiga pusaka, yaitu Jamus Kalimasada, tombak Kyai Songsong Tunggulnaga dan.tombak Karawelang..Sedangkan Arjuna, hampir semua pusaka di kuasainya, seperti Sarotama, Pulanggeni, Ardadedali. Dan beberapa pusaka lagi.Sewaktu Prabu Abiyasa  nenunjuk Pandu mmenjadi raja, sudah sewajarnya semua pusaka diserahkan pada Pandu, sebagai raja Astina. Sehingga tanpa memberikan satu buah senjatapun kepada  Drestarastra, Mungkin karena kekurangannya, maka Abioyasa, tidak memberikannya, dikhawatirkan bisa membahayakan Drestarastra itu sendiri,  Demikian pula pada Para putra Drestarastra tidak ada yang mendapatkan pusaka. Sedangkan Para Kurawa tidak pernah memperebutkan pusaka pusaka tersebut, yang menjadi pikirannya hanya ingin menguasai istana dan negara Astina. Namun Abiyasa  rupanya juga mencintai puteranya, yang memiiki kekurangannya, Abiyasa memberikan pusaka Kumbalageni.untuk menjaga keselamatan bagi Drestarastra.  Yaitu jenis senjata yang dahsyat, yaitu aji ajian yang bisa mengeluarkan api yang luar biasa besarnya.,untuk  menghancurkan musuh musuhnya, Namun, akhirnya Aji Kumbalageni membakar hutan dibawah kaki Gunung Indrakila, atau Haimalaya,. yang menjadikan tewasnya Dresatarastra, Gendari, Kunti, Yama Widura dan puteranya Sanjaya, yang bertapa ditempa itu,yang semula akan naik gunung Indrakila menuju puncak Kahyangan para dewata.

Hancurnya paara Kurawa bukan karena keseimbangan sernjata yang dimiliknya, walaupun Kurawa tidak menerima warisan pusaka, namun mereka memiliki orang orang sakti sekaligus dengan pusaka pusakanya yang dahsayat, seperti Adipati Karna yang memiliki Panah Kunta Wijayandanu, Kala Dite , Dursasana memiliki keris besar berbnama Kyai Barla, Dursala memiliki aji Gineng dsan aji pengrayangan, juga prabu Salya memiliki pusaka Brahala Candrabirawa, Pandita Durna memiliki Pusaka Nracabala, dan Bisma mempunyai pusaka Tamengwesi, terakhir Prabu Drestarastra juga mwemiliki pusaka Kumbalageni. namun mereka tidak menggunakan dengan baik. Juga Baladewa yang memiliki Pusaka ampuh Nanggala dan Pusaka Alugara, juga termakan siasat Prabu Kresna, sehingga Baladewa harus bertapa di Grojogansewu sampai Perang Baratayudha selesai.Hal tersebut dilakukan Kresna untuk mengurangi persenjataan pemusnah masal, dengan mengurangi pusaka pusaka yang dmiliki Baladewa, sedangkan di pihak Pandawa, Prabu Kresna melucuti persenjataan Antasena, Antareja dan Wisanggeni. Ada dua versi, versi pertama mereka bertiga melakukan bunuh diri, versi lain mengembalikan para putera Dewa dikembali ka ke Kekahyangan, Wisanggeni kembali ke Kahyangan Bathara Brahma,yaitu, Daksinageni, Antareja ke kahyangan Saptapratala, sedangkan Antasena, kembali ke istana Paranggudadi Kahyangan Dasar Samodera, tempat Sanghyang Baruna.bertahta;  Keunggulan Kurawa terdapat  paada gelar perang khususnya Cakrabriha, ciptaan sesepuh Kurawa, yang sebenarnya juga sesepuh Pandawa, hanya saja mereka ikut Kurwa. juga Pandawa, yaitu Bisma dan Pandita Durna.

Para Pandawa memerintah Negara Astina setelah perang Baratayudha. selama tigapuluh enam tahun, yang kemudian menyusul para sesepuh yang tewas karena kebakaraan di hutan, Sebelum Pandawa melakukan perjalanan kepuncak Himalaya, para Pandawa membuang senua pusaka yang ada dalam kekuasaannya ke dalam sumur yang dijumpainya dalam perjalanan, mereka takut terjadinya perang Baratayudha yang kedua. Karena Perang Baratayudha sendiri telah menimbulkan Korban begitu dahsyat.

Para Pandawa telah  menaiki puncak gunung Himalaya. Dalam pendakian itu, semua Pandawa dan Dewi Drupadi tewas, kecuali Puntadewa yang selamat berkat menolong seekor anjing kecil yang hampir mati tenggelam dalam cairan es, yang sebelumnya sang anjing selalu  mengikuti para Pndawa sejak dari awal menaiki gunung, sampai dipuncak gunung Himalaya, yang ternyata anjing itu, yang tak lain  adalah Sanghyang Darma, ayahanda Prabu Puntadewa, Prabu Puntadewa menyentuh kaki dan menciumnya, untuk menghormati ayahnya.

Sedangkan raja yang menggantikan Pandawa, adalah seorang pemuda putera Abimanyu, dan cucu Arjuna. Tindakannya tidak sdeperti orabg Pandawa, ia gampang marah, dan suka  menghina rakyatnya, khususnya seorang Pendita yang sedang bertapa, yang ditemui Parikesit. ketika mengejar buruannya, berupa seekor kijang, Parikesit mengalungkan bangkai ular ke leher Pendita. peristiwa itulah yang menimbulkan terjadi asal mulanya Parikesit menjadi  tewas.. Parikesit menjadi raja pada usia tigapuluh enam tahunan, namun  karakternya kurang baik, dan tidak bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Parikesit tewas akibat gigitan raja ular Nagataksaka.

Prabu Parikesit inilah yang akan akan menurunkan raja raja Astina berikutnya, setelah Prabu Abiyasa atau Prabu Kresna Dwipayana, sampai Pandu, Puntadewa dan baru, Prabu Parikesit dan beserta keturunan berikutnya.Konon dari Prabu Parikesit ini akan menurunkan cerita wayang Jawa, yaitu cerita Panji Asmara Bangun, bahkan sampai Raja Anglingdarma,  kelak di kemudian hari, sedangkan Astina kemudian berubah menjadi Yawastina, yang kemudian hancur sebelum Anglingdarma muncul. Itu menandai dimulainya sejarah Wayang Indonesia khususnya, Jawa, termasuk juga cerita Babad Tanah Jawa.





PANDAWA KURAWA LAHIR

Pada tanggal 16 Juni 2013, dilaksanakan pagelaran wayang di Gedung Narta Sabdho, Taman Budaya Raden Saleh. Pagelaran dimainkan oleh dhalang yang bernama Drs. Widodo, M.Pd dengan isi cerita sebagai berikut.
Di dalam hutan, Pandu dan kedua istrinya hidup laksanan pertapa. Mereka tidak lagi mengindahkan keinginan akan kemewahan atau bahkan kekuasaan. Hanya satu hal yang mengganggu pikiran Pandu sesuai kepercayaannya yaitu jika seorang lelaki tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka hidupnya akan berakhir di neraka. Tetapi dia sendiri punya masalah dengan hasrat seksual karena kutukan sepasang Rishi yang menuntut kematiannya apabila dia bersenggama dengan istrinya. Oleh karena itu, Pandu membicarakan hal ini dengan kedua istrinya, maksudnya agar kedua istrinya mau mendapatkan anak dari para Rishi yang hidup di hutan. Sama seperti dulu, Pandu juga lahir dari seorang Rishi yang mendatangi ibundanya, janda raja wangsa Kuru.
Alih-alih mendapatkan persetujuan dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan pencerahan lain. Hal itu karena Kunti menceritakan anugerah yang pernah diberikan oleh Rishi Durvasa yang mendatangi kerajaan ayahnya. Anugerah berupa mantera untuk memanggil para Dewata agar mendapatkan karunia berupa putra dari mereka. Pandu pun meminta Kunti memanggil Dewa Dharma. Maka lahirlah Yudhistira yang baik kepribadiannya juga bijaksana. Konon rupa Yudhistira sama persis dengan rupa Dewa Dharma.
Setahun kemudian, Pandu meminta Kunti melakukannya lagi. Diundanglah Dewa Vayu (Bayu), Dewa yang terkuat dari antara para Dewa. Dari Dewa Vayu lahirlah Bhimasena yang gagah perkasa. Bahkan dikatakan tidak akan pernah ada orang yang lahir sedemikian kuat melebihi kekuatan Bhimasena. Dan Bhimasena juga seorang yang amat pengasih. Dia begitu melindungi saudara-saudaranya juga memperhatikan sesama manusia.
Tahun berikutnya, Pandu kembali meminta Kunti melahirkan anak baginya. Kunti pun memanggil Indradewa, Dewa yang paling termasyhur di antara para Dewa. Dan lahirlah Arjuna. Seorang yang dilahirkan sebagai pahlawan sejati juga memegang teguh ajaran kebenaran.
Melihat anak-anak yang dilahirkan Kunti begitu sempurna masing-masingnya, Pandu pun menginginkan Kunti memanggil kembali Dewa yang lain. Akan tetapi Kunti mengatakan bahwa mantera itu akan melanggar dharma apabila digunakan lebih dari tiga kali. Mendengar hal itu, Pandu pun bersedih. Melihat hal itu, Kunti menjanjikan akan mengajar Madri, istri Pandu yang lain untuk merapal mantera tersebut.
Dan Madri pun melaksanakan niat itu; dia memanggil Sang Kembar, tabib para Dewata, Ashwin Kumar. Maka Madri dianugerahi sepasang anak kembar yang tampan-tampan yaitu Nakula dan Sadewa. Tidak cuma tampan, Nakula dan Sadewa memiliki keberanian dan kebijaksaan juga.
Bersamaan dengan kelahiran Bhimasena, Permaisuri Gandhari pun melahirkan putera pertamanya yaitu Duryodhana. Setelah itu, istri Raja Dhristrata itu juga melahirkan 99 putera dan 1 orang puteri. Ketika Duryodhana lahir, Raja Dhristrata mendapatkan firasat yang tidak baik. Dia pun membicarakan hal itu dengan Widura, adiknya yang lahir dari dayang Ibundanya. Widura mengatakan bahwa kelahiran Duryodhana mengawali kejadian yang paling mengerikan yang akan menimpa seluruh keluarga yaitu lenyapnya dinasti Kuru. Akan tetapi karena baru mendapatkan putera mahkota calon penggantinya, Raja Dhristrata tidak menghiraukan firasat dan makna yang diungkapkan oleh Widura.
Sementara itu, setelah hidup layaknya pertapa dengan bahagia selama 15 tahun lebih, di saat Kunti dan anak-anaknya berjalan-jalan ke dalam hutan, Pandu hanya tinggal berdua bersama Madri istrinya di dalam Ashram. Karena sudah lama tidak memadu kasih, Pandu begitu terpesona oleh kecantikan Madri, istrinya itu, hingga lupa akan kutukan sepasang Rishi yang pernah dipanahnya ketika dalam wujud rusa. Sebelum sempat mencumbu istrinya, Pandu pun meninggal.
Madri sangat terpukul atas kejadian ini. Dia menyalahkan diri tidak bisa menahan nafsu suaminya agar tidak mencumbu dirinya hingga berakibat kematian Pandu. Madri memutuskan untuk ikut membakar diri bersama dengan pembakaran mayat Pandu. Sementara Kunti yang lebih memikirkan nasib anak-anaknya kelak memilih kembali ke Hastinapura bersama para Pandawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar