LAHIRNYA GATOTKACA
Pada tanggal 6 Juni 2013, telah dilaksanakan
pagelaran wayang di Dusun Nangka Sawit, Gunung Pati, Semarang. Pagelaran wayang
ini dimainkan oleh dhalang kecil yang bernama Sindu, dengan isi cerita sebagai
berikut.
Setelah sekian
lama ditunggu-tunggu akhirnya Dewi Arimbi mengandung anak dari Bima. Seluruh
rakyat Pringgandani sangat bersukacita, dikarenakan anak ini akan menjadi
generasi penerus sebagai Raja di Pringgandani bila Dewi Arimbi sudah tiada.
Saat itu
seluruh putra Pandawa disertai Sri Batara Kresna tidak ketinggalan seluruh
punakawan Semar, Astrajingga, Dawal dan Gareng berkumpul di Istana
Pringgandani, mereka sedang berkumpul menunggu saat kelahiran sang putra Bima.
Tidak lama berselang terdengar tangisan bayi menggelegar menggentarkan seantero
Pringgandani, seluruhnya yang berada di bangsal menarik nafas panjang. Sesaat
kemudian ada emban yang menghaturkan berita bahwasanya sang putra mahkota
laki-laki telah lahir dalam keadaan sehat begitu juga dengan kondisi sang ibu.
Mendengar hal tersebut bertambahlah kebahagian semuanya, satu persatu dari
mereka memberikan selamat kepada Raden Aria Werkudara alias Bima atas kelahiran
putrannya.
Beberapa
waktu kemudian mereka bisa masuk menjenguk kedalam kamar, disana terlihat Dewi
Arimbi sedang berbaring diatas ranjang berhiaskan emas permata beralaskan
sutera berwarna biru terlihat senang dengan senyum mengembang dibibirnya
menyambut kedatangan Bima diiringi oleh seluruh kadang wargi (saudara). Tidak
jauh dari tempatnya berbaring terlihat sebuah tempat tidur yang lebih kecil,
diatasnya tergolek seorang bayi laki-laki sangat gagah dan tampat layaknya
ksatria trah dewa, hanya saja ari-ari dari bayi tersebut masih menempel belum
diputus. Ketika hal tersebut ditanyakan emban menjawab bahwa seluruh upaya
untuk memotong tali ari-ari tersebut selalu gagal. Tidak ada satu senjatapun
yang berhasil memotongnya.
Mendengar
hal tersebut Bima sangat gusar dan meminta tolong kepada saudara-saudaranya
untuk memotong tali ari-ari anaknya yang diberinama Jabang Tutuka. Bima mencoba
memotong dengan kuku pancana gagal, diikuti oleh Arjuna mencoba menggunakan
seluruh senjatanya diawali dengan keris Pancaroba, keris Kalandah, panah
Sarotama bahkan panah Pasopati semuanya gagal. Sri Batara Kresna yang saat itu
hadir mencoba dengan senjata saktinya Cakra Udaksana, hanya menghasilkan
percikan-percikan api ketika dicoba memotong tali ari-ari itu. Semuanya
terbengong-bengong merasa takjub dan heran disertai rasa putus asa, Dewi Arimbi
hanya bisa menangis melihat hal tersebut dirundung rasa khawatir jika anaknya
harus membawa tali ari-ari hingga dewasa. Ditengah suasana tersebut tanpa
diketahui sebelumnya Begawan Abiyasa yang tak lain kakek dari para Pandawa atau
buyut dari Jabang Tutuka telah hadir ditempat tersebut, semua yang hadir
memberikan sembah sungkem kepadanya. Begawan yang sakti mandraguna ini
mengatakan bahwa tali ari-ari itu hanya akan bisa dipotong oleh senjata
kadewatan yang berasal dari Batar Guru. Untuk itu Sang Begawan meminta Arjuna
untuk pergi ke Kahyangan mencari senjata tersebut. Setelah mendapat perintah
dari kakeknya dan meminta ijin kepada saudara-saudaranya Arjuna disertai oelh
para punakawan segera menuju Kahyangan untuk mencari senjata yang dimaksud oleh
Begawan Abiyasa, sedangkan Sang Begawan sendiri bergegas pulang kembali ke
Padepokan setelah memberikan do’a serta merapal beberapa mantra untuk buyut /
cicitnya tersebut.
Nan jauh
di Kahyangan sana keadaan sedang gonjang-ganjing dikarenakan serangan dari Naga
Percona yang ingin memperistri salah satu bidadari yang bernama Dewi Supraba.
Dikarenakan Naga Percona bukan sembarang makhluk, dia adalah raja yang
mempunyai kesaktian mumpuni dan bisa dikatakan sama bahkan sedikit diatas
diatas para dewa, jelas sangat merepotkan barisan dewa-dewa yang dipimpin oleh
Batara Indra dalam menghadapi nya. Serangan petir Batara Indra tidak ubahnya
lemparan daun-daun kering dari anak-anak, kobaran api Batara Brahma hanya
menjadi menjadi mainan saja. Batara Bayu yang mendoronganya dengan badai besar
tidak membutnya mundur walaupun seujung kuku, bahkan badannya tidak goyang
sedikitpun. Cakra Udaksana dari Batar Wisnu sama sekali tidak mencenderainya,
singkatnya para dewa dipukul mundur dengan kondisi babak-belur.
Batara
Guru merapal mantra dan melihat Kaca Trenggana, diperoleh keterangan bahwa yang
bisa mengalahkan Naga Percona hanyalah Jabang Tutuka anak Bima yang baru lahir.
Selanjutnya Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata
darinya yang bernama panah Konta Wijayadanu kepada Arjuna untuk memotong
ari-ari Jabang Tutuka dengan imbalan bayi tersebut harus menjadi panglima
perang mengahadapi Naga Percona. Disaat yang bersamaan Aradeya atau Karna
sedang bertapa di tepi Sungai Gangga mencari senjata sakti untuk dirinya, pada
saat Batara Narada mendekati tempat tersebut hatinya senang karena Aradeya ini
disangkanya Arjuna, karena rupanya benar-benar mirip dan Batara Surya yang
merupakan ayah dari Aradeya sengaja mengeluarkan sinar berkilauan disekitar
Aradeya sehingga Batara Narada tidak terlalu jelas melihatnya, sehingga tidak
sadar bahwa orang yang diserahi senjata tersebut bukanlah Arjuna.
Setelah
mendapatkan senjata sakti kadewatan Aradeya sangat gembira dan langsung berlari
tanpa mengucapkan terima kasih kepada Batara Narada, hal itu membuat Batara
Narada tersadar bahwa dia salah orang, tidak lama kemudian Arjuan disertai oleh
para Punakawan datang ketempat tersebut, dengan sedih Batara Narada bercerita
bahwa dirinya telah salah orang menyerahkan senjata kadewatan yang seharusnya
diserahkan kepada Jabang Tutuka lewat tangan Arjuna, malah diserahkan kepada
orang yang tidak dikenal dan mempunyai rupa mirip dengan Arjuna. Mendengar hal
tersebut Semar sangat menyalahkan Batara Narada karena gegabah menyerahkan
senjata sakti kepada orang asing, serta segera meminta Arjuna mengejar orang
tersebut.
Arjuna
berlari dan berhasil menyusul Aradeya, awalnya senjata tersebut diminta
baik-baik dan dikatakan akan digunakan olehnya untuk memotong tali ari-ari
keponakannya. Aradeya tidak menggubrisnya akhirnya terjadi perang-tanding
memperebutkan senjata tersebut, sampai suatu ketika Arjuna berhasil memegang
sarung senjata tersebut sedangkan Aradeya memegang gagang panah Konta
Waijayadanu. Mereka saling tarik dan akhirnya terjerembab dikarenakan senjata Konta
lepas dari warangka / sarungnya. Kemudian Aradeya berlari kembali dan kali ini
Arjuna kehilangan jejak.
Dengan
sedih hati Arjuna menunjukkan warangka senjata Konta kepada Semar, kemudian
atas saran Semar mereka kembali ke Pringgandani sedangkan Batara Narad disuruh
pulang ke Kahyangan dan dikatakan bahwa Jabang Tutuka akan segera dibawa ke
Kahyangan. Sesampainya di Keraton Pringgandani warangka tersebut digunakan
untuk memotong tali ari-ari Jabang Tutuka, ajaib sekali tali ari-ari putus
sedangkan warangka senajata kadewatan itu masuk kedalam udel Jabang Tutuka. Hal
ini menurut Semar sudah menjadi suratan bahwa nanti diakhir cerita peperangan
besar / Bharata Yuda senjata itu akan masuk kembali kewarangkanya, dengan kata
lain Jabang Tutuka akan mati jika menghadapi senjata Konta Wijayadanu.
Setelah
tali ari-ari berhasil dipotong Arjuna hendak membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan
untuk memenuhi janji kepada Batara Narada, bahwa Jabang Tutuka akan menjadi
panglima perang dan menghadapi Naga Percona. Awalnya Bima melarang karena
anaknya masih bayi dan dirinya sanggup untuk menggantikan melawan Naga Percona.
Setelah Semar berkata bahwa Jabang Tutukalah yang harus berangkat karena dia
yang dipercaya oleh dewa dan Jabang Tutuka pula yang telah menggunakan senjata kadewatan
bukan yang lain. Disamping itu Semar menjamin jika terjadi suatu hal yang
menyebabkan Jabang Tutuka celaka, Semar berani menaruhkan nyawanya kepada Bima.
Mendengar hal tersebut dari Semar, Bima yang mempunyai pandangan linuwih dan
menyadari siapa sesungguhnya Semar ini, akhirnya mengijinkan putra berperang
melawan Naga Percona.
Arjuna
disertai par Punakawan segera membawa Jabang Tutuka ke Kahyangan, setelah
mendekati gerbanga Selapa Tangkep tepatnya di Tegal Ramat Kapanasan Arjuna
meletakkan Jabang Tutuka ditengah jalan menuju gerbang. Selanjutnya Arjuna
memperhatikan dari jauh bersama dengan para dewa, tak lama berselang Naga
Percona datang dan melihat ada bayi ditengah jalan. Dia meledek Batara Guru
yang dikatakannya sudah gila karena menyuruhnya bertarung dengan bayi yang
hanya bisa menangis. Kemudia dia mengangkat Jabang Tutuka dan mendekatkan
wajahnya ke wajah bayi tersebut, tidak disangkan tangan Jabang Tutuka mengayun
dan berhasil meluaki satu matanya sehingga berdarah. Kontan Naga Percona marah
dan membanting Jabang Tutuk kea rah pintu gerba hingga mati. Melihat hal
tersebut para dewa tak terkecuali Batar Guru, Batara Narada dan Arjuna kaget
dan was-was jika Bima sampai tahu anaknya mati oleh Naga Percona pasti akan
mengamu ke Kahyangan. Hanya saja Semar dengan cepat berbisik ke Batara Guru
untuk segera menggodok Jabang Tutuka di Kawah Candradimuka, Batara Guru segera
memerintahkan Batara Yamadipati untuk segera membawa tubuh Jabang Tutuka ke
Kawah Candradimuka dan menggodoknya. Selanjutnya para dewa disuruhnya
melemparkan / mencampurkan senajata yang dimilikinya untuk membentuk tuduh
Jabang Tutuka lebih kuat, lama-kelamaan terbentuklah tubuh satria gagah dari
dalam godogan tersebut. Kemudian para dewa membirkannya pakaian dan perhiasan
untuk Jabang Tutuka yang baru tersebut, selanjutnya diakarenakan dia mati belum
waktunya berhasil dihidupkan kembali oleh Batar Guru.
Selain
mendapat anugerah berupa pakaian, perhiasan dan senjata yang sudah membentuk
tubuhnya Jabang Tutuka juga memperoleh beberanama dari para dewa diantaranya :
Krincing Wesi, Kaca Negara, Purabaya, Kancing Jaya, Arimbi Suta, Bima Putra dan
Gatotkaca. Nama terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam dunia pewayangan.
Dengan tampilan yang sangat beda dari sebelumnya Jabang Tutuka yang menggunakan
nama baru Gatotkaca bertempur kembali dengan Naga Percona, dan akhirnya behasil
merobek mulut dan tubuh Naga Percona menjadi dua bagian. Itulah akhir dari
hidupnya Naga Percona yang membawa kedamaian di Kahyangan, sekaligus menjadi
awal kepahlawanan Gatotkaca sang putra Bima.
BAMBANG SEKUTREM
Cerita wayang bambang sekutrem ini dimainkan oleh dhalang
Drs. Widodo, M.Pd, dengan ringkasan cerita sebagaai berikut.
Mengisahkan pengurangan senjata pemusnah masal Kisah
tentang Bambang Sekutrem yang mendapatkan senjata pusaka dari Kahyangan,
dan juga akan di sampaikan pula pesenjataaan para Pandawa dan Kurawa, serta
pengurangan senjata pemusnah masal oleh Prabu Kresna, dilakukan baik di pihak
Kurawa maupun di pihak Pandawa sendiri.
Bambang Sekutrem, adalah putera Begawan Manumayasa, diminta
sraya oleh dewa untuk mengusir pasukan Prabu Kalimantara dari Negeri Cempaka
Kawedar beserta para perajuritnya. yang telah merusak kahyangan
Jonggringsaloka.
Batara Narada turun ke marcapada menemui Begawan
Manumayasa. Batara Narada meminta Begawan Manumayasa untuk mengijinkannya
mengajak Bambang Sekutrem ke Kahyangan, menjadi jago dewa untuk mengusir
musuh yang telah memasuki Kahyangan Jonggringsaloka.
Begawan Manumayasa memberikan restu kepada puteranya,
Bambang Sekutrem, untuk membantu para dewa mengusir musuh dari Negeri Cempaka
Kawedar,yang sekarang ini menguasai Kahyangan Jonggringsaloka.Prabu
Kalimantara, beserta pasukannya, yang diperkuat oleh Aria Tunggulnaga, telah
berhasil memasuki Gerbang Selamatangkep. Yaitu, dengan membobol Gerbang
Selamatangkep. Para Dewa merasa kewalahan menghadapi musuh musuhnya. Akhirnya
Bambang Sekutrem bersama Batara Narada pun telah sampai di Kahyangan. Untuk
memberikan kekuatan Bambang Sekutrem, baik kekuatan jiwa dan raga yang akan
melawan Prabu Kalimantara, maka Batara Brahma memberikan pusaka Pulanggeni
kepada Bambang Sekutrem.
Prabu Kalimantara tertawa terbahak bahak, ketika mengetahui
para dewata tidak berani lagi melawan mereka, justru para dewa membawa orang
biasa yang dijagokan untuk melawan mereka. Dengan sungkan hati Prabu
Kalimantara melayani perlawanan Bambang Sekutrem. Namun dengan kegesitan dan
kekuatan Bambang Sekutrem dalam melawan Prabu Kalimantara beserta pasukannya,
Prabu Kalimantara beserta pasukannya dapat dibinasakan oleh Bambang Sekutrem.
Namun kemudian terjadi keajaiban, prabu Kalimantara beserta
pasukannya berubah menjadi pusaka pusaka sakti. Prabu Kalimantara menjadi
Pusaka Jamus Kalimasada, mereka ada yang menjadi songsong Tunggulnaga, tombak
Karawelang, serta pusaka pusaka, Sarotama, Ardadedali, serta pusaka pusaka yang
lain.Pusaka Pasopati didapat Arjuna sewaktu bertapa di Indrakila. Para
Dewa memberikan semua pusaka pada Bambang Sekutrem. Disamping senjata pusaka,
Bambang Sekutrem mendepat anugerah berupa pusaka itu. seorang bidadari
bernama Dewi Nilawati. Bambang Sekutrem menikah dengan Dewi Nilawati,
mendapatkan dua orang putera, yaitu Bambang Sakri dan Bambang
Sayati. Bambang Sayati atau Bambang Sayadi ini nantinya akan menurunkan
raja raja di Mandaraka. Bambang Sakri kawin dengan Dewi Sati mempunyai seorang putera
bernama Bambang Pulasara.
Pusaka-pusaka itu kemudian di kuasai secara turun temurun,
dari Sekutrem diturunkan kepada Sakri, kemudian Sakri, Palasara, Abiyasa,
Pandu, yang kemudian terakhir Pandawa, Sedangkan Pandawa,yang menguasai
pusaka pusaka tersebut, Prabu Puntadewa,yang menguasai tiga pusaka, yaitu Jamus
Kalimasada, tombak Kyai Songsong Tunggulnaga dan.tombak Karawelang..Sedangkan
Arjuna, hampir semua pusaka di kuasainya, seperti Sarotama, Pulanggeni,
Ardadedali. Dan beberapa pusaka lagi.Sewaktu Prabu Abiyasa nenunjuk Pandu
mmenjadi raja, sudah sewajarnya semua pusaka diserahkan pada Pandu, sebagai
raja Astina. Sehingga tanpa memberikan satu buah senjatapun kepada
Drestarastra, Mungkin karena kekurangannya, maka Abioyasa, tidak
memberikannya, dikhawatirkan bisa membahayakan Drestarastra itu sendiri,
Demikian pula pada Para putra Drestarastra tidak ada yang mendapatkan
pusaka. Sedangkan Para Kurawa tidak pernah memperebutkan pusaka pusaka
tersebut, yang menjadi pikirannya hanya ingin menguasai istana dan negara
Astina. Namun Abiyasa rupanya juga mencintai puteranya, yang memiiki
kekurangannya, Abiyasa memberikan pusaka Kumbalageni.untuk menjaga keselamatan
bagi Drestarastra. Yaitu jenis senjata yang dahsyat, yaitu aji ajian yang
bisa mengeluarkan api yang luar biasa besarnya.,untuk menghancurkan musuh
musuhnya, Namun, akhirnya Aji Kumbalageni membakar hutan dibawah kaki Gunung
Indrakila, atau Haimalaya,. yang menjadikan tewasnya Dresatarastra, Gendari,
Kunti, Yama Widura dan puteranya Sanjaya, yang bertapa ditempa itu,yang semula
akan naik gunung Indrakila menuju puncak Kahyangan para dewata.
Hancurnya paara Kurawa bukan karena keseimbangan sernjata
yang dimiliknya, walaupun Kurawa tidak menerima warisan pusaka, namun mereka
memiliki orang orang sakti sekaligus dengan pusaka pusakanya yang dahsayat,
seperti Adipati Karna yang memiliki Panah Kunta Wijayandanu, Kala Dite ,
Dursasana memiliki keris besar berbnama Kyai Barla, Dursala memiliki aji Gineng
dsan aji pengrayangan, juga prabu Salya memiliki pusaka Brahala Candrabirawa,
Pandita Durna memiliki Pusaka Nracabala, dan Bisma mempunyai pusaka Tamengwesi,
terakhir Prabu Drestarastra juga mwemiliki pusaka Kumbalageni. namun mereka
tidak menggunakan dengan baik. Juga Baladewa yang memiliki Pusaka ampuh
Nanggala dan Pusaka Alugara, juga termakan siasat Prabu Kresna, sehingga
Baladewa harus bertapa di Grojogansewu sampai Perang Baratayudha selesai.Hal
tersebut dilakukan Kresna untuk mengurangi persenjataan pemusnah masal, dengan
mengurangi pusaka pusaka yang dmiliki Baladewa, sedangkan di pihak Pandawa,
Prabu Kresna melucuti persenjataan Antasena, Antareja dan Wisanggeni. Ada dua
versi, versi pertama mereka bertiga melakukan bunuh diri, versi lain
mengembalikan para putera Dewa dikembali ka ke Kekahyangan, Wisanggeni kembali
ke Kahyangan Bathara Brahma,yaitu, Daksinageni, Antareja ke kahyangan Saptapratala,
sedangkan Antasena, kembali ke istana Paranggudadi Kahyangan Dasar Samodera,
tempat Sanghyang Baruna.bertahta; Keunggulan Kurawa terdapat paada
gelar perang khususnya Cakrabriha, ciptaan sesepuh Kurawa, yang sebenarnya juga
sesepuh Pandawa, hanya saja mereka ikut Kurwa. juga Pandawa, yaitu Bisma dan
Pandita Durna.
Para Pandawa memerintah Negara Astina setelah perang
Baratayudha. selama tigapuluh enam tahun, yang kemudian menyusul para sesepuh
yang tewas karena kebakaraan di hutan, Sebelum Pandawa melakukan perjalanan
kepuncak Himalaya, para Pandawa membuang senua pusaka yang ada dalam
kekuasaannya ke dalam sumur yang dijumpainya dalam perjalanan, mereka takut
terjadinya perang Baratayudha yang kedua. Karena Perang Baratayudha sendiri
telah menimbulkan Korban begitu dahsyat.
Para Pandawa telah menaiki puncak gunung Himalaya.
Dalam pendakian itu, semua Pandawa dan Dewi Drupadi tewas, kecuali Puntadewa
yang selamat berkat menolong seekor anjing kecil yang hampir mati tenggelam
dalam cairan es, yang sebelumnya sang anjing selalu mengikuti para Pndawa
sejak dari awal menaiki gunung, sampai dipuncak gunung Himalaya, yang ternyata
anjing itu, yang tak lain adalah Sanghyang Darma, ayahanda Prabu
Puntadewa, Prabu Puntadewa menyentuh kaki dan menciumnya, untuk menghormati
ayahnya.
Sedangkan
raja yang menggantikan Pandawa, adalah seorang pemuda putera Abimanyu, dan cucu
Arjuna. Tindakannya tidak sdeperti orabg Pandawa, ia gampang marah, dan suka
menghina rakyatnya, khususnya seorang Pendita yang sedang bertapa, yang
ditemui Parikesit. ketika mengejar buruannya, berupa seekor kijang, Parikesit
mengalungkan bangkai ular ke leher Pendita. peristiwa itulah yang menimbulkan
terjadi asal mulanya Parikesit menjadi tewas.. Parikesit menjadi raja
pada usia tigapuluh enam tahunan, namun karakternya kurang baik, dan
tidak bisa menjadi tauladan bagi rakyatnya. Parikesit tewas akibat gigitan raja
ular Nagataksaka.
Prabu Parikesit inilah yang akan akan menurunkan raja raja
Astina berikutnya, setelah Prabu Abiyasa atau Prabu Kresna Dwipayana, sampai
Pandu, Puntadewa dan baru, Prabu Parikesit dan beserta keturunan
berikutnya.Konon dari Prabu Parikesit ini akan menurunkan cerita wayang Jawa,
yaitu cerita Panji Asmara Bangun, bahkan sampai Raja Anglingdarma, kelak
di kemudian hari, sedangkan Astina kemudian berubah menjadi Yawastina, yang
kemudian hancur sebelum Anglingdarma muncul. Itu menandai dimulainya sejarah
Wayang Indonesia khususnya, Jawa, termasuk juga cerita Babad Tanah Jawa.
PANDAWA
KURAWA LAHIR
Pada tanggal 16 Juni 2013, dilaksanakan pagelaran
wayang di Gedung Narta Sabdho, Taman Budaya Raden Saleh. Pagelaran dimainkan
oleh dhalang yang bernama Drs. Widodo, M.Pd dengan isi cerita sebagai berikut.
Di dalam hutan, Pandu dan kedua
istrinya hidup laksanan pertapa. Mereka tidak lagi mengindahkan keinginan akan
kemewahan atau bahkan kekuasaan. Hanya satu hal yang mengganggu pikiran Pandu
sesuai kepercayaannya yaitu jika seorang lelaki tidak mempunyai keturunan
laki-laki, maka hidupnya akan berakhir di neraka. Tetapi dia sendiri punya
masalah dengan hasrat seksual karena kutukan sepasang Rishi yang menuntut
kematiannya apabila dia bersenggama dengan istrinya. Oleh karena itu, Pandu
membicarakan hal ini dengan kedua istrinya, maksudnya agar kedua istrinya mau
mendapatkan anak dari para Rishi yang hidup di hutan. Sama seperti dulu, Pandu
juga lahir dari seorang Rishi yang mendatangi ibundanya, janda raja wangsa
Kuru.
Alih-alih mendapatkan persetujuan
dari kedua istrinya, Pandu mendapatkan pencerahan lain. Hal itu karena Kunti
menceritakan anugerah yang pernah diberikan oleh Rishi Durvasa yang
mendatangi kerajaan ayahnya. Anugerah berupa mantera untuk memanggil para
Dewata agar mendapatkan karunia berupa putra dari mereka. Pandu pun meminta
Kunti memanggil Dewa Dharma. Maka lahirlah Yudhistira yang baik kepribadiannya
juga bijaksana. Konon rupa Yudhistira sama persis dengan rupa Dewa Dharma.
Setahun kemudian, Pandu meminta
Kunti melakukannya lagi. Diundanglah Dewa Vayu (Bayu), Dewa yang terkuat dari
antara para Dewa. Dari Dewa Vayu lahirlah Bhimasena yang gagah perkasa. Bahkan
dikatakan tidak akan pernah ada orang yang lahir sedemikian kuat melebihi
kekuatan Bhimasena. Dan Bhimasena juga seorang yang amat pengasih. Dia
begitu melindungi saudara-saudaranya juga memperhatikan sesama manusia.
Tahun berikutnya, Pandu kembali
meminta Kunti melahirkan anak baginya. Kunti pun memanggil Indradewa, Dewa yang
paling termasyhur di antara para Dewa. Dan lahirlah Arjuna. Seorang yang
dilahirkan sebagai pahlawan sejati juga memegang teguh ajaran kebenaran.
Melihat anak-anak yang dilahirkan
Kunti begitu sempurna masing-masingnya, Pandu pun menginginkan Kunti memanggil
kembali Dewa yang lain. Akan tetapi Kunti mengatakan bahwa mantera itu akan
melanggar dharma apabila digunakan lebih dari tiga kali. Mendengar hal itu,
Pandu pun bersedih. Melihat hal itu, Kunti menjanjikan akan mengajar Madri,
istri Pandu yang lain untuk merapal mantera tersebut.
Dan Madri pun melaksanakan niat itu;
dia memanggil Sang Kembar, tabib para Dewata, Ashwin Kumar. Maka Madri
dianugerahi sepasang anak kembar yang tampan-tampan yaitu Nakula dan Sadewa.
Tidak cuma tampan, Nakula dan Sadewa memiliki keberanian dan kebijaksaan juga.
Bersamaan dengan kelahiran
Bhimasena, Permaisuri Gandhari pun melahirkan putera pertamanya yaitu
Duryodhana. Setelah itu, istri Raja Dhristrata itu juga melahirkan 99 putera
dan 1 orang puteri. Ketika Duryodhana lahir, Raja Dhristrata mendapatkan
firasat yang tidak baik. Dia pun membicarakan hal itu dengan Widura, adiknya
yang lahir dari dayang Ibundanya. Widura mengatakan bahwa kelahiran Duryodhana
mengawali kejadian yang paling mengerikan yang akan menimpa seluruh keluarga
yaitu lenyapnya dinasti Kuru. Akan tetapi karena baru mendapatkan putera
mahkota calon penggantinya, Raja Dhristrata tidak menghiraukan firasat dan
makna yang diungkapkan oleh Widura.
Sementara itu, setelah hidup
layaknya pertapa dengan bahagia selama 15 tahun lebih, di saat Kunti dan
anak-anaknya berjalan-jalan ke dalam hutan, Pandu hanya tinggal berdua bersama
Madri istrinya di dalam Ashram. Karena sudah lama tidak memadu kasih, Pandu
begitu terpesona oleh kecantikan Madri, istrinya itu, hingga lupa akan kutukan
sepasang Rishi yang pernah dipanahnya ketika dalam wujud rusa. Sebelum sempat
mencumbu istrinya, Pandu pun meninggal.
Madri sangat terpukul atas kejadian
ini. Dia menyalahkan diri tidak bisa menahan nafsu suaminya agar tidak mencumbu
dirinya hingga berakibat kematian Pandu. Madri memutuskan untuk ikut membakar
diri bersama dengan pembakaran mayat Pandu. Sementara Kunti yang lebih
memikirkan nasib anak-anaknya kelak memilih kembali ke Hastinapura bersama para
Pandawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar